Berlin

Berlin

Berlin dingin dan berangin, membuat aku lupa bahwa baru beberapa hari sebelumnya aku tersengat matahari di London dan Paris. Hampir dua minggu berjalan kaki dengan lutut cedera, bikin aku agak manja. Dari terminal bis, aku memilih naik taksi ke Hotel Altberlin di kawasan Potsdamer Platz di pusat kota Berlin. Dan kayaknya, selama di Euro Area ini, selain dari Vienna Airport, aku selalu bayar taksi sebesar €15.

Hotel Altberlin bergaya klasik, tapi bukan yang bergaya keren kayak Lohmühle di Bayreuth. Kesannya malah kekar dan angker, mirip peninggalan zaman perang. Ah, tapi memang sejarah Jerman sebelum reunifikasi selalu berisi perang; dari penyatuan Jerman, PD I, PD II, hingga Perang Dingin. Brrrr. Hal2 ini tampaknya membuat penduduk Jerman masa kini lebih bergaya individualis (dalam arti tidak berminat mengatur hidup orang lain) dan toleran.

Karena belum terlalu lelah, kami malah jadi punya waktu untuk menikmati sore Berlin, yang biarpun sejuk tapi masih menampilkan langit dan awan berwarna  warni. Di peta, Hotel Altberlin berada tak jauh dari Berliner Philharmoniker. Jadi kuputuskan untuk berjalan ke arah sana. Ternyata cukup jalan 10 menit saja untuk sampai. Di sana, aku memilah2 program yang bisa ditampilkan, dan memutuskan untuk menyaksikan satu performansi orkestra di malam berikutnya. Jalan2 diteruskan. Berliner Philharmoniker merupakan gedung bergaya seni modern, terletak dalam kompleks yang bertetangga dengan Museum Musik, di depan Sony Centre. Cahaya matahari yang dipantulkan kaca di Sony Centre membuat warna coklat kuning di kompleks ini tampak seperti negeri dongeng.

Acara menunggu matahari terbenam sore itu dilanjutkan di sekitar Potsdamer Platz. Karena kami berada di pusat kota, maka kami juga berada di sekitar bekas tembol yang memisahkan Berlin Barat dan Berlin Timur, bekas masa Perang Dingin itu. Brrr. Di atas stasiun Potzdamer Platz kami melihat sisa2 tempok, bagian sangat kecil yang sengaja tidak diruntuhkan untuk jadi monumen.

Menyusuri sisa tembok, kami sampai di Gerbang Brandenburg (Branderburg Tor) yang merupakan landmark Jerman. Dulu, ini adalah satu dari sekian banyak gerbang kota Berlin. Tapi yang satu ini posisinya paling menarik: menghadap Tiergarten yang merupakan taman dan hutan yang sangat luas di tengah Berlin. Hutan luas di tengah kota — memang menarik :). Selama Perang Dingin (brrrr), gerbang ini terkurung pagar dan tak dapat bebas diakses kecuali oleh pejabat dari Blok Timur. Maka runtuhnya tembok, dan kemudian bersatunya Jerman (dan Berlin) dulu dirayakan besar2an secara simbolik di Gerbang Brandenburg ini. Namun gerbang ini kini bersuasana tenang dan damai. Di sekitarnya adalah kompleks2 pemerintahan dan kedutaan2 (termasuk Kedutaan AS tepat di sebelah gerbang).

Matahari tenggelam, dan nyaris tengah malam lagi. Melawan udara yang makin dingin, kami segera kembali ke Altberlin; kali ini naik bis.

Hari berikutnya, kami mau iseng mencobai transportasi umum di Berlin. Hotel Altberlin sungguh strategis: ada halte bis tepat di depan pintunya. Membeli Tageskarte (One day card) seharga €6.3, kami bisa naik bis, tram, U-Bahn, dan S-Bahn di dalam kota. Ternyata U-Bahn kadang ada di atas tanah, dan S-Bahn pun sering tenggelam di dalam tanah. Kami menjelajah bagian utara Berlin, dan mengunjungi Museum für Naturkunde, atau Museum Sains. Kami memang tak pernah bosan mengunjungi museum sains di manapun. Semua memiliki keunikan, baik materi, fokus perhatian, maupun metode menyampaikan informasi ilmiah secara populer kepada pengunjung.

Di museum ini, kita disambut oleh tiga dinosaurus raksasa. Aku rasa seharusnya aku bawa keponakan2ku, yang pasti hafal nama2 hewan raksasa yang malang itu. Di dalam, sebuah globe besar yang cukup presisi ditempel sebuah layar besar. Layar bergerak di atas globe, menampilkan sebuah bagian bumi, dan menceritakan sejarah geologi hingga ekologi yang berkaitan dengan visual bagian bumi itu. Cara yang kreatif. Bisa berjam2 aku di bagian itu, kalau tidak tertarik oleh penasaran pada ruang2 lain.

Di samping, ada penjelajahan tatasurya dan galaksi. Tapi aku suka melihat bagian sampingnya; tentang elemen2, dan bagaimana mereka bisa berada di bumi. Ada bagian yang mengingatkan aku pada sebuah diskusi di pengajian beberapa tahun lalu; bagaimana Al-Quran menyebutkan secara eksplisit bahwa besi itu diturunkan (dari atas, dari angkasa). Besi tidak mungkin diciptakan dengan tekanan dari benda sebesar planet atau bintang kecil. Harus ada bintang yang cukup besar, menyusun fusi jutaan tahun membentuk helium hingga karbon dan besi; kemudian ia harus meledak atau bertabrakan dengan bintang lain, melepas elemen2 relatif berat itu, dan suatu dari sebagian kecil kabutnya membentuk tatasurya atau bagian tatasurya yang baru, termasuk bumi. Di museum itu ditampilkan persentase probabilitas (dan bisa berarti distribusi) elemen di semesta; akibat proses fusi, ledakan dan penggabungan, peluruhan, fisi, dll.

Di belakang, adalah hewan2 yang diawetkan. Mirip museum zoologi di Bogor. Tapi lebih lengkap. Di ujung lain dari museum, ada pameran tentang kota Berlin. Hewan2 liar apa saja yang dapat ditemui di Berlin. Antara lain ada tupai merah :). Yang ini konon jauh lebih pemalu daripada rekan2nya tupai kelabu di Amerika dan Britania. Tapi di taman2 makam2 di sekitar Berlin, mereka cukup jinak karena sering berinteraksi dengan manusia. Ada juga rubah, dan bahkan celeng. Wah, Obelix bakal bahagia tinggal di sini. Di Paris mana ada mamalia liar — cuma ada burung2 gagak.

Berikutnya, menyusuri jalan2; trus kembali dengan S-Bahn ke Potsdamer Platz, dan seharusnya kembali ke hotel dengan bis. Tapi, ini benar2 ajaib. Bis di Berlin bukan saja bisa terlambat, atau sangat terlambat, tapi juga bisa cancel. Aku gak tahu ada apa di sisi kota yang lain; tapi semua bis ke arah hotelku ditunda atau dibatalkan. Tapi, tentu, cuma perlu 20 menit berjalan kaki untuk sampai di hotel.

Sore, rintik membasahi Berlin. Kami menembus rintik dengan bis disambung jalan kaki ke Berliner Philharmoniker lagi. Sedikit antri, kami dicecar di loket: cuma ada tiket mahal €80 dan tiket berdiri lho, katanya. Lho, mereka pikir berapa harga tiket di Wina, misalnya. Atau tiket pesawat ke Berlin. Tapi melihat setelan sebagian besar penonton yang agak hingga sangat resmi, dan membandingkan dengan kami yang mengenakan jaket sederhana (tapi rapi loh), plus badan kami yang kecil mungil, aku jadi berprasangka: jangan2 kami dituduh mahasiswa. Tapi kami akhirnya bisa dapat tiket.

Berliner Philharmoniker malam itu memainkan Missa Solemnis dari Beethoven. Sebagai choir adalah Bayerischer Rundfunk. Dan sebagai konduktor adalah Herbert Blomstedt. Mr Blomstedt lahir di tahun 1920an. Waktu Mama aku berusia 5 tahun, Mr Blomstedt sudah memperoleh gelar konduktor terbaik se-Eropa. Dan hingga tahun 2012 ini beliau masik aktif memimpin orkestra salah satu karya mutakhir Beethoven.

Missa Solemnis dianggap Beethoven sendiri sebagai salah satu karya puncaknya. Ia ditulis pada masa yang sama dengan Simfoni Kesembilan. Saat menulis karya ini, Beethoven sedang dalam masa krisis. Ketuliannya mengganggu aktivitasnya menyusun komposisi musik, sekaligus membuatnya makin terisolasi dari masyarakat. Pada masa ini, ia menyusun String Quarter terakhir, Simfoni Kesembilan, dan Missa Solemnis. Dari segi ide, mungkin memang ada kaitan antara melankoli Beethoven masa itu dengan keinginannya untuk lebih dekat pada Tuhan. Namun yang terdengar justru adalah kedalaman dan variasi yang luar biasa dari pikiran dan perasaan Beethoven sendiri. Strukturnya, tentu berbeda dengan simfoni-simfoni Beethoven. Keterasingan struktur ini (buat aku), justru menambah misteri karya besar ini.

Hari berikutnya, ke Tiersgarten, dan disusul persiapan pulang :). Dalam plan, memang Berlin tak terlalu diseriusi. Mirip terminal akhir tempat pulang. Tapi jelas Berlin bukan kota yang patut diabaikan. Kota ini memiliki keteraturan yang menarik, penduduk yang berdisiplin, dan memberikan perasaan kemerdekaan berkeksplorasi yang belum dapat diberikan oleh ibukota negara2 besar lain di Eropa (mis London dan Paris).

Sebenarnya, di awal Juni ini, bandara2 eks Berlin Barat dan Berlin Timur akan ditutup, menyusul dibukanya Brandenburg Airport yang baru dan besar. Namun ternyata pesawat kami masih akan diterbangkan dari Bandara Tegel. Aku tergoda naik taksi lagi ke Bandara Tegel. Lokasinya tak jauh dari kota, sopir taksi di Berlin gak bandel2 amat, dan kami punya 2 koper. Paling €30 – €40. Tapi, mendadak ada godaan lain, yaitu mencoba menggunakan transport umum nan lapang itu untuk ke airport bawa koper. Tentu waktunya dipilih sebelum para pekerja di Berlin pulang dari kantor :). Kami masih punya Tageskarte. Ini kami pakai naik bis ke S-Bahn, naik S-Bahn ke stasiun terakhir dekat airport, dan naik airport bus. Wow, dengan kartu ex jalan2 pagi hari itu, kami bisa sampai di Tegel Airport tanpa membayar apa pun! :)

Tegel Airport itu mungil. Memang sudah harus dipindahkan, atau dijadikan terminal domestik saja. Beristirahat di Starbucks (anggaplah Airport Lounge, wkwk); lalu check-in. Untuk check-in, kami boleh melewati antrean panjang, kerna sudah melakukan mobile check-in. Langsung masuk port di belakang tempat check-in, satu orang petugas imigrasi sudah menunggu untuk memeriksa paspor kami. Ia menghitung lama kami tinggal di Eropa menggunakan jari tangan. Wkwkwk. Dan begitu lolos, kami sudah di ruang persiapan boarding. Memang bandara mini yang unik, berbeda dengan semua bandara internasional. Tapi mungkin ini kali terakhir kami melihat Tegel Airport.

Selanjutnya …. kembali ke negeri kesayangan kami …. Indonesia :)

4 thoughts on “Berlin

  1. Jadi ingin ke Berlin (lagi), padahal sudah 5 kali ke sana, tapi ngga pernah bosan untuk mengunjunginya (lagi). Ngga mampir ke KaDeWe buat belanja? ;) Eh, bukan anggota dewan ya ;))

Leave a Reply