
Paris
Petugas imigrasi di stasiun St Pancras itu betul-betul salinan dari prototype petugas Perancis: setengah baya, tirus, serius, bertopi kaku, menatap tajam tanpa emosi, lalu memberikan stempel pada passport di sebelah visa Schengen. Lalu kereta meninggalkan London, dan dalam dua jam memasuki Paris Gare du Nord. Gare du Nord besar, dan indah dari luar. Tapi dari dalam, sesak dan tak teratur. Aku segera keluar. Hotelku hanya 1 km dari stasiun ini. Jadi kami memutuskan berjalan kaki ke hotel di kawasan Montmartre itu. Sempat harus bertanya2 ke orang2 di jalan. Syukur, kemampuan Bahasa Perancis-ku yang cuma sampai Level 2 masih bisa digunakan sekedar buat bertanya jalan.
Berminat melihat Eiffel menantang matahari senja, aku memutuskan naik taksi. Tak jauh, jadi seharusnya tidak mahal. “Bonjour,” sapaku ke sopir taksi, mengira masih siang. “Assalaamu’alaikum,” jawab si chauffeur. “Alaikumussalaam. Palais de Chaillot, s’il vous plait,” kataku. Memang banyak chauffeur yang berasal dari kawasan eks provinsi seberang lautan (non Eropa) dari negara Perancis masa lalu, seperti Maroko, Tunisia, Aljazair, Cote d’Ivoire, dll. Kencang taksi melintasi gedung2 klasik khas Paris yang dicerlangi sinar matahari sore; dan tak lama kami mencapai Trocadero. Trocadero, Palais de Chaillot, di muka Eiffel. Di luar kawasan airport, inilah tempat pertama di luar Indonesia tempat aku berdiri dulu, jauh sebelum sempat mengunjungi negara2 tetangga :).
Masih gatal membaca kembali tulisan di tembok Palais de Chaillot, yang dulu kubaca tapi terlupakan, dan gak pernah berhasil aku cari di Google :). Menikmati sore, jalan perlahan melalui taman ke Eiffel. Trus memutuskan memanjat Eiffel. Antrian tampak pendek. Tapi ternyata panjang sekali. Menara Eiffel konon adalah menara sains dan engineering; yang pernah digunakan untuk eksperimen ilmiah dan pemancar radio. Sambil antri, kami mengamati nama-nama ilmuwan yang dicetak pada menara: Lagrange, Laplace, Lavoisier, Ampere, Legendre, dll. Itu hanya di sisi barat. Belum sempat membacai sisi lainnya.
Sekitar 2-3 jam, sampai menjelang tengah malam, baru kami berhasil membeli tiket dan langsung naik ke puncak Eiffel setinggi 324m itu. Panjangnya antrian membuat kami hanya dapat melihat kilau cahaya kota Paris di malam gelap, bukan di senja biru. Tapi … indah sekali.
Turun dari Eiffel (lepas tengah malam), kami mulai melihat Paris yang berbeda. Taksi dengan antrian serabutan misalnya :). Tapi para chauffeur memang ramah nian, walau harus bersabar menghadapi Bahasa Perancisku yang sudah berabad2 tak digunakan :). Dan mereka bisa berteriak terima kasih hanya karena memperoleh sedikit tip (misalnya kita bayar €15 untuk argo €13).
Pagi, selepas sarapan sedap dengan croissant yang sedap, kami memutuskan untuk berkeliling Paris dengan berjalan kaki. Seharusnya tidak melelahkan, karena hotel kami berada cukup dekat dengan pusat kota. Hanya berjalan sekitar 20 menit, kami sudah mencapai Louvre dan piramida kaca raksasanya.
Aku pernah menjelajah Louvre setengah hari, dan merasa tidak perlu mengulangi experience menarik itu. Jadi Louvre dinikmati dengan berkeliling dan bermain piramida. Tak lama, kami menyeberangi Sungai Seine. Melintas jalan2 bersejarah di St Germaine (plus membeli murbei), kami mengarah ke Le Quartier Latin. Ini adalah wilayah dalam Paris dimana dulu banyak intelektual berkeliaran dan berkomunikasi menggunakan bahasa latin. Di dalamnya ada Universitas Paris (Sorbonne), Palais du Luxembourg, École Normale Supérieure, Universitas René Descartes, Institut Curie, Panthéon, toko-toko buku, dan masih banyak lagi. Di toko buku di sini, aku menambah lagi koleksi terjemahan beberapa buku Le Petit Prince dari Antoine de Saint-Exupéry.
Panthéon cukup ramai dikunjungi masyarakat. Ini adalah semacam monumen peringatan, temple yang tidak bersifat religius namun lebih bersifat ideal dan nasional. Di dalamnya terpasang patung2, mozaik2, lukisan2, yang menggambarkan perjuangan kemanusiaan warga Perancis. Bagian bawah berfungsi sebagai makam bagi para tokoh-tokoh Perancis, dari filsuf seperti Voltaire dan JJ Rousseau, sastrawan seperti Émile Zola dan Alexandre Dumas, matematikawan seperti Lagrange, dan tentu pasangan ilmuwan Pierre dan Marie Curie. Juga Braille. Temboknya digunakan untuk mengenang berbagai tokoh, termasuk penulis dan pahlawan perang Saint-Exupéry. Dan di bagian tengah, di bawah kubah, terpasanglah Pendulum Foucault.
Pendulum Foucault adalah sebuah bola logam keemasan yang digantungkan dengan kawat setinggi 67m pada puncak kubah Panthéon. Kelembaman membuat bola ini bergerak secara tetap, tak terpengaruh putaran bumi. Namun karena bumi berputar, bola seolah bergerak berlawanan dengan arah putaran bumi. Maka pendulum Foucault menjadi bukti sederhana bahwa bumi memang berputar. Tapi tentu, di tahun 1851, saat Léon Foucault memasang pendulum itu, warga bumi sudah sadar bahwa bumi itu bulat dan berputar. Kubah Panthéon juga merupakan tempat eksperimen radio pertama di Paris, menghubungkan pemancar dan penerima di Panthéon dan Eiffel.
Dari Panthéon, kami menyelusur sejenak ke Institut Curie, tempat dulu Pierre dan Marie Curie bekerja. Tempat ini masih digunakan hingga kini, dan telah beberapa kali direnovasi menjadi tempat penelitian modern. Catatan penelitian asli dari Curie masih tersimpan dan terlindungi. Tidak boleh dibuka atau dibaca bebas, karena kandungan radioaktif yang tinggi pada kertas2 itu. Waktu itu keluarga Curie memang belum tahu bahaya radioaktivitas bagi kesehatan.
Menumpang bis, kami menuju Musée d’Orsay. Museum di tepi Sungai Seine ini menampilkan karya-karya seni klasik dan modern. Bertingkat lima, di dalamnya ditampilkan karya asli dari nyaris seluruh artist favoritku di zaman SMP dulu, dari masa impresionist dan post-impresionist.
Di dalam museum, dilarang mengambil foto. Namun aku menikmati saat2 bisa berdekatan dengan karya2 Renoir, Monet, hingga Van Gogh; dan menyaksikan bagaimana ekspresi mereka ditumpahkan secara fisik untuk membentuk tata warna yang berkilau, berpendar, bersapu kabut, melemah, berputar, bermain. OK, sekarang aku tahu, kenapa Renoir tampak hidup, kenapa Monet tampak bercahaya, dan kenapa Van Gogh begitu mengusik emosi. Starry, starry night …
Di luar, sore seharusnya sudah datang. Tapi matahari masih terik menunggu tenggelam pukul 21:40. Menyeberangi Seine lagi (melalui jembatan yang banyak dikunci dengan gembok2 mungil bertuliskan inisial orang2 yang sedang jatuh cinta), kami melintas hutan kecil yang asri, dan mengarah ke Avenue des Champs-Élysées. Diawali dengan tugu obelisk Luxor (“Memasang tugu semacam itu di tengah Galia? Kau pasti gila.” — Panoramik 50 SM), kami berjalan santai melalui trottoir lebar yang dikelilingi pohon2 asri; dan sesekali beristirahat duduk di atas rumput. Perjalanan yang mengasyikkan itu berujung di bagian dari Élysées yang menyebalkan, yang penuh mal dan toko bising ini itu, dari Cartier, Guerlaine (entah kenapa aku membayangkan namanya mirip Gerlong Gegerkalong), sampai LV yang penuh diantrii penggemar kitsch. Tapi bagian ini harus dilewati untuk bisa mencapai Arc de Triomphe.
Arc de Triomphe di Place de l’Étoile akhirnya bisa dicapai hampir pukul 20:00 “malam” :). Cuaca masih cerah dan panas nian. Namun kaki dan terutama lutut kiri sudah protes tak alang kepalang. Maka perjalanan harus diakhiri.
Seharusnya, hari berikutnya berisi perjalanan ke Château du Clos Lucé di Amboise untuk melihat suasana pedesaan dan sekaligus tempat kerja Leonardo da Vinci. Namun aku pikir lutut korban London harus diistirahatkan. Jadi perjalanan hari berikutnya masih di kota Paris melibatkan bis, Metro, RER, dan berbagai jenis transportasi di Paris; baik di atas tanah maupun di bawah tanah. Selain taman, museum, sejarah, kunjungan meliputi kompleks toko-toko buku di St Michael, kedai kopi, hingga ke Opéra National de Paris.
Yang agak menarik adalah toko buku. Aku memang terbiasa menjenguk toko buku di mana pun. Dan biasanya sekalian yang besar, kalau kunjungan ke kota tak terlalu lama. Tapi di Paris, toko buku besar tak mudah terlihat. Mungkin terpisah dari kawasan wisatawan, aku pikir. Jadi aku sengaja naik taksi, dan minta diantar ke grandes librairies. Chauffeur menganggap itu bukan request yang mudah. Ia mengusulkan ke St Michael, dekat Le Quartier Latin lagi. Di sana banyak toko2 buku yang agak besar, katanya. Ternyata, memang di Perancis ada hukum yang mengatur buku. Buku diatur agar harganya sama, dibeli di toko besar, toko kecil, ataupun online. Maka toko2 buku kecil dan sedang bisa bersaing dan berumur panjang; berbeda dengan di banyak negara, di mana toko2 buku kecil mulai hilang dikalahkan toko besar dan toko online. Wow, kebijakan yang menarik :).
Hari terakhir, melintas dengan RER-B ke Orly. Orly adalah airport mungil kota Paris. Dari sini perjalanan dilanjutkan dengan penerbangan Vuelling ke Wina. Vienne, kata orang Paris mah.