Haneda

Haneda

Travel blog itu tak mudah buat aku. Selama traveling, aku tak akan banyak membuang waktu untuk mencatat. Apalagi online. Tapi di ujung perjalanan, hutang tulisan (hutang ke diri sendiri) jadi menumpuk :). Dan karena blog bukan travel book, kita tak akan menuliskan seluruh experience kita juga — hanya beberapa highlight. Atau bikin buku sekalian? Wkwkwk. Daripada bikin buku jelek, mending gak usah ah :). OK. ini beberapa kesan yang aku coret sedikit dari travel ke Kyoto minggu lalu.

Tak seperti traveler beneran, aku tak leluasa memilih waktu perjalanan. Ini adalah business trip tempat aku harus mempersiapkan laporan dan memberikan presentasi di tempat dan waktu yang sudah dijadwalkan. Jadi aku tak bebas memilih musim terbaik atau tarif termurah. Tak keduanya :). Biarpun nasionalis tulen, tapi karena kantong sedang krisis (IEEE memberikan allowance yang tak besar), aku memilih menggunakan Air Asia, dengan destinasi jadwal terbatas (tidak ada daily flight). Maka aku harus terbang dari Jakarta jam 6.00 pagi, sampai di Kualalumpur jam 8.00 atau 9.00 waktu setempat. Ada yang berubah di KL: petugas imigrasinya jadi ramah nian :). Juga polisi di airport, jadi suka bertukar senyum. Aku menunggu jam 13.00 WIB untuk terbang lagi. Pesawat dari KL ke Haneda sepi sekali: okupansi di bawah 30%. Kalau mau aku bisa todur selonjor mengokupasi 3 seat. Tapi buat aku, itu malah tak nyaman. Penerbangan tak membosankan. Biarpun tak ada entertainment dari airline, tapi aku bisa mengeksplorasi Cherico, sebuah tablet Acer Iconia Tab yang diberikan Acer Indonesia ke aku minggu sebelumnya. Baca ebook di Kindle apps tentang Tokyo dan Kyoto, mendengarkan musik, main Angry Birds, dll, dan sampai di Haneda jam 20.30 WIB atau 22.30 waktu Tokyo.

Kesan pertama di Haneda adalah: tempat ini mirip Jepang. Bersih sempurna, dengan arsitektur efisien, dan tak berlebihan memberikan ornamen2. Udara nyaman, tak lembab mirip Jakarta atau KL. Di airport, semua informasi huruf kanji disertai dengan terjemahan Bahasa Inggris. Imigrasi Jepang juga amat ramah, tapi serius. Dia kaget baca bahwa aku menginap di Kyoto. “Lalu tidur di mana malam ini?” Dia mengulang pertanyaan itu berulang kali, seolah itu soal besar bahwa aku hanya perlu duduk di airport 6 jam lagi, dan naik shinkanzen pertama ke Kyoto pagi harinya :). Tapi akhirnya dia menyerah, dan memberikan cap di passportku. Aku bisa ambil bagasi. Satu petugas lagi memeriksa urusan cukai. Dengan gaya bicara seperti obrolan santai, dia meminta memeriksa bagasiku. Kenapa tidak :), masih rapi :). Dia tampak bahagia melihat simpanan jasku di bagasi, lengkap dengan dasi serasi :). Mungkin sempat curiga dia: ini ngaku “business trip” tapi tadi gayanya backpacker gini yach.

Selingan dikit. IEEE memang organisasi serius. Tapi menempatkan keseriusan itu akan tergantung budaya. Petinggi IEEE dari US hanya akan mengenakan jas di acara resmi, dan umumnya hanya mengenakan kemeja atau kaos polo untuk kegiatan di luar acara pembukaan dll. Tapi para profesor di negeri-negeri Asia Timur Raya, baik di IEEE maupun di forum lain, gemar sekali bergaya resmi: dengan suite jas dan celana satu set, dasi, hingga sepatu dan rambut berkilau. Aku sendiri terbiasa mengenakan kemeja santai ditutup jaket agak resmi. Sempat kena tegur Pak Wahidin di Cebu, aku jadi beli dasi. Di HK, aku harus beli jas buat seminar, soalnya seluruh peserta pakai jas resmi, bukan cuma speaker. Jadi di acara IEEE kayak Cebu, Yogya, dan Kyoto, akan tampak barisan orang Asia dengan jas dan dasi, bersanding dengan mitra dari Amerika (utara/selatan) dengan style engineer. Dan ini menjelaskan, kenapa pihak cukai Jepang agak jengah melihat makhluk riang bergaya backpacker mengaku akan menghadiri international conference :).

Lolos cukai, aku cari info transportasi dulu. Keramahan Jepang ternyata bukan individual, melainkan budaya bersama. Si mbak di travel desk riang sekali menyambut, dan antusias bercerita tentang alternatif perjalanan ke Kyoto, secara detil. Tampilan dan gaya bercakapnya mirip sinetron Korea beneran yang ceria penuh cahaya (nggak mirip film Jepang yang serius melulu). Padahal dia tahu aku nggak beli tiket bus dll dari tempat dia. Trus pindah ke Money Changer. Di sini, aku harus isi form dulu untuk bisa menukar mata uang asing ke Yen. Selain mata uang internasional seperti USD dan Euro, mata uang Asia termasuk Rupiah diakui di sini. Satu mata uang, satu form. Tapi dua mas di loket itu, lagi2 bergaya kayak sinetron Korea atau Taiwan yang ceria penuh cahaya. Heran, pemuda-pemudi Jepang masa kini mau kerja tengah malam di Airport buat melayani turis dengan amat ceria. Aku mulai merasa aku sedang main sinetron Asia :).

Aku mulai mencari tempat duduk yang nyaman. Belajar dari kebodohan tahun lalu, di mana kami meninggalkan Stansted Airport yang nyaman di tengah malam untuk menunggu pagi di terminal Victoria yang tak nyaman dan tak aman di tengah London, maka kali ini aku menunggu pagi di Haneda saja. Di Indonesia masih jam 21.00. Dengan WiFi TIAT yang gratis dan cukup kencang, aku kontak negeri2 Asia Tenggara. Tim Lorong Maut pengelola TelkomSpeedy.com masih lembur panjang dan belum makan malam, menyiapkan display untuk IPv6, dan masih perlu koordinasi ini itu. Sayangnya tak lama baterai Mac habis. Dan aku terlalu bodoh untuk membawa plug converter, atau charger Mac US yang asli. Jadi powerless. Satu2nya supermarket di Haneda yang masih buka tengah malam itu tak menjual plug converter. Tampaknya sebagian besar tourist di Jepang berasal dari US, yang tak memerlukan plug converter di sini :). Mac off.

Seorang anak muda mendatangi. Pinjam akses Internet. Dan panik sadar Mac-ku tinggal 4% dan akan mati dalam beberapa menit. Dia pilot Korea yang harus terbang dari Korea siang itu. Tapi flight koneksi dari Delta yang dia naiki tak berhasil mengidentifikasi dia, dan dia tak berhasil terbang ke Seoul. Dia cuma perlu mengirim foto dan mendownload kembali surat konfirmasi baru. Panik reda, kami memutuskan makan roti bareng2 sambil diskusi memecahkan masalah dia. Kalau cuman kirim foto, dia gak perlu komputer canggih, kataku. Pakai si Cherico juga bisa. Halah, iklan. Dia tertarik sekali. Tapi telefon2 lagi pakai bahasa Korea, dan ternyata masalah dia sudah teratasi. Tinggal tunggu waktu. Kami berpisah. Aku baca2 lagi. Eh, sudah jam 4. Cuci muka, sikat gigi, menyegarkan badan. Trus … malah ketiduran. Jam 5.15 aku terbangun, lari ke MRT station, beli tiket ke Shinagawa, minum sebotol air jeruk. MRT menarik sekali. Sepi (masih jam 5.30 sih), dan penuh orang2 rapi2 :). Aku turn di Shinagawa, lari ke … lari ke … loh, semua masih tutup.

Ke ruang informasi, aku diinformasikan bahwa semua baru buka jam 6.00 tepat. Huh, padahal aku mau naik kereta jam  6.00. Di sebelah ruang informasi, ada ruang tempat penukaran tiket turis (Japan Rail Pass). Ini tiket agak murah, khusus bagi turis, untuk berkeliling seluruh Jepang. Harganya mirip tiket Tokyo-Kyoto pp, tapi bisa dipakai ke mana saja 7 hari. Tiket ini hanya bisa dibeli dari luar Jepang, lalu ditukarkan di sini. Tapi bukanya baru jam 9.00 (tertulis demikian). Aku luangkan waktu jalan2. Termasuk melihat seorang wanita tua dan lusuh yang tidur di Stasiun Shinagawa. Heh, ini masih Jepang yang perfect tadi? Hmm. Revisi dikit.

Jam 5:59. Seorang cewek mungil mulai membersihkan lantai di depan pintu, lalu membuka kunci. Aku bertanya, kapan loket dibuka? Dia bilang: Jam 6:00. Trus dia buka pintu geser. Di dalam, lampu sudah menyala, dua loket terbuka, dan dua cowok sudah siap menjual tiket. Jam 6:00 tepat aku melangkah ke ticket desk. Sinting. Aku langsung beli tiket shinkanzen Tokyo-Kyoto. ¥12710. Masuk stasiun, aku sekedar mengikuti arah2 yang ditunjukkan. Di bawah, satu kereta sudah dibuka. Pasti bukan kereta pertama, yang meluncur jam 6:00 tepat, waktu aku masih di ticket desk tadi.

Shinkanzen yang aku naiki berjenis Nozomi: tiper terbaru, paling cepat, dengan WiFi dan colokan listrik didalamnya. Tapi aku nggak punya plug converter. So, aku melakukan hal yang selalu kulakukan di atas kereka sekian ratus tahun terahir: mengamati pemandangan di luar jendela. Yokohama, Gunung Fuji yang masih berselimut kabut, Shizuoka, Nagoya, dan turun di Kyoto.

OK, cerita selanjutnya sudah aku tulis panjang lebar di 3 tulisan terdahulu di blog ini.

Haneda arah pulang. Menarik juga sih. Tapi lain hari deh.

3 thoughts on “Haneda

Leave a Reply to Dian Cancel reply