Tokyo E Iki Mas

Tokyo E Iki Mas

Weekend. Dan Kyoto station menampilkan wajah yang berbeda: tak terlalu banyak lagi gegas langkah2 panjang. Dengan langkah ringan aku memasuki ruang JR ticket sales untuk perjalanan ke Tokyo. Bercita2 melihat lagi Fujiyama, aku coba pesan reserved seat di posisi duduk dekat jendela kiri. Tapi posisi menarik itu telah penuh dipesan :). Jadi aku ambil tiket non-reservation yang lebih murah. Tiket seharga ¥12700 dicetak. Huh, semuanya huruf kanji. Arigato gozaimasta. Lincah aku bergerak ringan. Loh, ringan. Sial, luggageku tertinggal di sales desk. Balik lagi, senyum manis lagi, ambil luggage, arigato lagi. Lalu turun. Shinkanzen Hikari hampir masuk. Seorang gentleman agak senior menunjukiku peron khusus non-reservation dengan bahasa Inggris sempurna sekali. Hikari datang, dan aku masuk. Kosong sekali. Aku bisa mengambil posisi duduk di jendela kiri (di antara banyak posisi yang sama).  Hmm, padahal yang reserved seat semuanya penuh. Mungkin, para unreserved passenger kayak aku lebih memilih Shinkanzen Nozomi beberapa menit kemudian (yang fasilitasnya lebih lengkap: ada cherger, WiFi, dll). Tapi aku akan lebih memilih Hikari yang memungkinkan aku duduk di … hei kereta berangkat. Nagoya. Shizuoka. Kantuk menyerang. Pesan kopi ¥300. Segar lagi. Baca2 buku di Acer Iconia yang baru (baru dipinjami pihak Acer Indonesia). Dan tak lama, tampaklah Gunung Fuji di kiri kereta.

Cuaca tak terlalu ramah. Angin kencang. Dalam beberapa detik, aku menembak sang puncak Jepang beberapa kali. Dalam selisih detik itu, awan tipis berhasil menutupi gunung besar itu sepenuhnya. Keren sekali anginnya :).

Kereta menderu kencang, masuk Yokohama, Shinagawa, dan Tokyo. Mendadak ingat kata2 Paul (di Pelajaran Bahasa Perancis Buku 1). “Je n’aime pas Paris. Paris est une grande ville. Je n’aime pas les grandes villes.” Lompat dari Kyoto ke Tokyo, aku mendadak punya perasaan yang sama. Tokyo Station riuh sekali. Aku sempat tersesat ke arah luar. Tapi di luar suasanyanya lapang, tenang, teduh, dan mirip bagian penuh taman di London. Pingin menikmati taman, tapi luggage ini masih mengganggu.

Aku masuk lagi, cari Otemachi station, beli tiket harian, dan langsung mengarah ke timur, menyeberangi Edogawa (Sungai Edo), dan turun di Nishikasai. Rencananya. Tapi keretanya jalan terus. Wkwk. Kena traffic engineering :). Ini kereta tak berhenti di semua stasiun di perjalanan keluar. Jadi turun di Urayasu, naik ke arah yang berlawanan, dan turun di Nishikasai, akhirnya. Hotelku, namanya Park Lane, berada beberapa langkah dekat stasiun. Mungil (tapi bertingkat 9). Ruang untukku kecil, dengan fasilitas minim, tapi dengan kebersihan dan fungsi yang prima (gak ada kran bermasalah, seperti dijumpai di 90% hotel non bintang lima di Indonesia). Mandi. Segar. Balik ke Tokyo.

Sendiri di kota besar agak tak menarik. Jadi aku memutuskan mengunjungi teman yang dicintai banyak orang. Hachiko :). Hachiko, anjing yang setia itu, telah mati abad lalu. Namun ia diabadikan sebagai sebuah patung di Shibuya. Shibuya ada di barat Tokyo. Aku melintas dari ujung timur ke ujung barat, sambil beradaptasi dengan MRT Tokyo. Sebagian besar pesan disampaikan dalam Bahasa Jepang dan Huruf Kanji. Hanya sedikit bahasa Inggris terbaca. Syukur kalau ada huruf Katakana yang aku masih bisa paham. Tampaknya cukup banyak pencari Hachiko :), sampai ia dijadikan sati pintu keluar di Shibuya Station: Hachiko Exit. Dan patung Hachiko tampak tak jauh dari pintu itu. Masih menatap stasiun, seperti masih selalu menunggu tuannya kembali. Sebentar aku menemani Hachiko, turut menatap stasiun, barangkali mengenali sang tuan yang barangkali turun dari MRT bareng aku.

Hachiko juga diabadikan dalam berbagai penanda ruangan, jadi penutup manhole hingga ornamen dinding.

Aku meninggalkan Hachiko, dan berkeliling sebentar di Shibuya. Tempat itu tak jauh dari Harajuku. Sabtu malam, suasana Harajuku mulai terasa. Wow. OK, aku kembali ke Tokyo. Dan kali ini aku sampai di Ginza.

Ginza ini daerah pertokoan di atas tanah termahal di dunia. Aku tergoda masuk ke Apple Store, lalu sebuah toko musik. Hmmm, semua cover CD dilapis dengan huruf katakana dan kanji. Memang aku mengenali nama Waaguneru dalam huruf katakana. Tapi scanning jadi tak mudah lagi. Rohengrin. Warukuure. Aku memutuskan kabur ke Tokyo Tower, biar bisa melihat seluruh Tokyo. Tokyo Tower berada 600m dari Kamiyacho Station. Tapi jalannya berbukit. Tak melelahkan, karena suasanyanya menarik, tanpa mobil terlalu banyak. Tak lama tampak Tokyo Tower. Tapi … heh … di bawahnya …. ada Presiden IEEE. Loh, kenapa beliau malah di sana. Trus, apa pikir beliau lihat anak buahnya jalan2 gini yach. Wkwkwk. Beliau lihat aku juga, trus berbagi senyum, lalu kami berpisah. Haha.

Di Tokyo Tower, kita harus beli tiket 2 kali. Pertama, untuk naik ke ketinggian 150m (seharga ¥800), dan kemudian untuk naik lagi ke ketingguan 250m (seharga ¥600). Tinggi tower sendiri 340m. Cukup keren pemandangan di atas. Kita dapat melihat dari kuil-kuil, Ginza, hingga Teluk Tokyo.

Sayangnya lift sempat macet. Hahaha, ada juga yang bisa macet di Tokyo. Mengesalkan, karena akhirnya aku bisa sampai di atas saat langit tak biru lagi.

Turun dari tower, aku cari makan malam sebentar. Dan mencari akses Internet sampai ke Starbucks. Ginza lagi. Ini cabang Starbucks pertama di Jepang. Tapi akses Internetnya gak keren. Mungkin akses Internet yang kencang dan gratis hanya ada di Apple Store :). Pulang.

Hotel di pinggiran kota memberikan hal menarik. Harga kamar jauh di bawah rerata harga kamar di kota Tokyo. Lalu, kita juga jadi bisa mensyukuri sebuah peradaban yang telah berhasil menyelesaikan masalah transportasi. Kurang dari setengah jam dari pinggiran ke pusat salah satu kota terbesar di dunia itu. Dan kita dapat melihat suasana Jepang yang berbeda. Di pinggiran kota, orang tak lagi menyeberang di zebra cross, tak lagi rajin menunggui lampu hijau tanda boleh menyeberang. Lampunya ada, tapi diabaikan, karena jumlah mobil juga tak banyak. Juga, di pinggiran ini terasa bahwa warga Jepang sungguh payah berbahasa Inggris. Tentu bagi mereka ini bukan kelemahan :).

Aku pikir aku sudah melakukan kunjungan budaya ke Kyoto dan Nara. Jadi di Tokyo aku mau melihat budaya yang berbeda. Tapi pagi hari itu, tergoda juga aku mengunjungi Meiji Shrine. Ini kuil Shinto yang konon terpopuler di Tokyo, tempat konon banyak orang memutuskan menikah atau memberikan pemberkatan kepada bayi (mengikuti ajaran Shinto) di sana. Jadi, ke sanalah aku pergi, buat lihat pengantin, wkwkwk. Kompleks kuilnya besar sekali, dan memiliki hutan di dalamnya. Berjalan ke dalam, biarpun menyegarkan, terasa agak melelahkan (heii, aku baru jalan kali hampir seminggu, wkwkwk). Terdapat banyak gerbang tinggi di dalam kompleks itu.

Di dalam, cukup banyak yang melakukan upacara doa, lengkap dengan acara tepukan tangan. Menarik juga. Dan, aku beruntung, memang ada yang sedang melakukan upacara pengantin di sana :). Aku ikuti acara itu sampai selesai :).

Mengikuti pesan Mas Ahmad Rully, aku meneruskan perjalanan ke Odaiba. Ini wilayah baru yang dibangun di lepas pantai Tokyo, disusun sebagai benteng untuk melindungi Tokyo dari ancaman tsunami. Di atasnya sendiri dibangun fasilitas umum dengan konstruksi kokoh, dengan alur yang disusun untuk memecah kekuatan tsunami. Beberapa yang terlihat adalah musium aquatic, musium maritim, musium telekomunikasi, dan musium sains. Tentu yang aku kunjungi adalah musium sains. Miraikan.

Musium ini lebih mewawas ke sains dan teknologi masa kini dan masa depan. Tapi, alih-alih memamerkan kemajuan terkini, ia lebih berfokus menampilkan cara berkembangnya ide-ide, dari ide kecil menjadi penemuan besar yang akhirnya memberikan manfaat bagi kemanusiaan. Salah satu metode yang menarik, tentu: serendipity. Di tempat ini juga ada forum, ada teater, dll. Cukup lengkap.

Kembali ke kota, aku sempat baca bahwa di Ginza sedang ada event “car free day” :). Penasaran, aku segera ke sana, menghabiskan sore, sekedar berjalan bersama ribuan warga Tokyo yang memenuhi jalan2 di Ginza,

Aku harus akui, di hari2 Tokyo ini aku sedang agak lelah, dan tak terlalu lincah lagi bergerak :). Jadi aku malah bersantai menikmati sore di Ginza, dan bukan meneruskan bereksplorasi :). Menjelang jam 5 sore, aku balik ke hotel, ambil luggage, dan mulai mengarah kembali ke Haneda. Hentian pertama di stasiun Nihombashi (terjemahan: Jembatan Jepang). Mataku yang lelah sudah tak bisa membaca huruf latin kecil2, dan aku mengenali nama stasion ini dari huruf kanjinya (Nihon, nama negara Jepang, tentu mudah dikenali). Tiketku mendadak tak dikenali di sini saat aku berpindah kereta. Aku minta guidance ke petugas, lalu beli tiket baru yang bisa langsung membawa ke Haneda. Mirip dengan di Kyoto, dimana aku sampai meninggalkan luggage di loket, maka di Nihombashi ini aku meninggalkan passport terjatuh di tengah stasiun. Aku baru sadar agak lama kemudian, waktu kereta datang. Tapi passport belum bergeser, masih menungguku di lantai di tengah stasiun. Aku pikir, aku harus langsung ke airport, dan nggak kemana2 lagi :). Lalu menunggu pesawat dengan tenang. Dan pulang.

OK, masih banyak cerita di Haneda airport, baik saat kedatangan maupun keberangkatan. Tapi kita tulis hari lain deh :).

3 thoughts on “Tokyo E Iki Mas

  1. Catatan: Judul posting ini seharusnya “Tokyo e ikimasu” (?? ? ????). Tapi lek sing nulis wong Jowo, ditulis “Tokyo e iki mas” juga boleh.

Leave a Reply to Koen Cancel reply