Un Weekend à Paris

Un Weekend à Paris

Sebelum ada blog, aku sudah memulai blog secara offline. Salah satu blog lebih mirip tumblelog: dengan tempel2an peta, kliping berita, tiket, dll. Kebetulan itu adalah blog (eh agenda) di tahun di mana aku pertama kali boleh jalan ke luar Indonesia. Dua minggu aku di Eropa: seminggu di Perancis (Lannion & Paris) dan seminggu di Spanyol (Madrid & Tolédo). Di bawah ini adalah catatan weekend yang memisahkan minggu Perancis dengan minggu Spanyol.

Pesawat TAT yang terus berguncang ini akhirnya mendarat di Orly. Kita meneruskan perjalanan dengan bis ke Paris. Vendredi soir, trafik di kota Paris padat sekali, termasuk di lorong-lorong bawah tanahnya. Aku diinapkan di Hotel Ibis Clichy, daerah Montmartre, dengan sewa per kamar 495 F/night, dengan tempat tidur yang lebar (lebih lebar daripada yang di Lannion). Kamar mandi memiliki bath tub, tapi penyumbat tersumbat. Lapar, kami pergi ke McDonald. Many ethnicities in this area. Dari McD, aku meneruskan dengan cari souvenir di sebelah hotel. Souvenirnya berkualitas tinggi dnegan harga terjangkau. Keren. Balik ke hotel. Mendengarkan musik yang nice sekali di channel 23: Igor Stravinsky. Lalu tidur.

Pagi hari, diawali dengan sarapan. Croissantnya keras, terutama dibandingkan croissant di Marcôtel Pantai Trestraou yang lembut itu. Seorang anak kecil menatapku, lalu menarik lengan lelaki di sebelahnya: “Pak, kok Indonesia semua?” Lelaki itu menyuruh si anak diam, sementara aku dan si anak jadi bertukar senyum. Keluar hotel, aku menghirup udara musim gugur Paris, dan memilih-milih buku disebuah toko buku dekat hotel. Tak lama, Mr Brunell, pejabat Alcatel Indonesia yang menyediakan diri jadi guide, datang. Dia mengantar kami ke perfumerie Licia di Kléber, dekat Etoile. Ada 4 Indonésienne yang bekerja di sini membantu para turis Indonesia memilih parfum. Aku membayar dengan $$$. Brunell mengajak memilih tempat belanja lagi. Tapi kami pura-pura lelah. Maka Brunell mengembalikan kami ke hotel. Sama-sama bebas, kami jalan kaki berkeliling di Paris kecil: Tour Eiffel, Notre Dame, Opera. Jalan-jalan ke Galeries Lafayette, beli CD obralan (F8). Cari pernik-pernik komputer, tapi nggak ada yang menarik. Payah. Balik lagi jalan kaki; kami diikuti seorang preman. Teman-temanku berjalan cepat menghindar, dan membiarkanku bersama si preman. Dia terus berceloteh sambil meraba2 saku jasku. Aku berjalan cepat, sambil membalas celotehan dia dengan gaya betawi: “Eh, loe sebenernya mau ape sih? Kenal juga kagak. Pigi loe sono.” Dst. Dia akhirnya menyerah, pergi. Aku balik ke kamar. Siesta.

Malam, kami keluar lagi. Suasana sungguh berbeda. Agak seram, dengan ratusan warga dengan berbagai warna kulit bergerombol dengan muka agak angker. Aku memilih tempat makan yang tidak terlalu jauh. Hey, ada nasi goreng. Riz grec. Salah satu teman coba bertanya ke penjualnya, sambil menunjuk daging di nasi: “Is it pork?” “No,” kata yang jual. Aku iseng: “Is it halal?” “Sure!” kata si penjual, “I am a muslim, from Tunisie.” Langsung nasi berporsi besar itu kami habiskan. Selesai makan, kami mengintip sebentar ke Metro. Suasana agak tegang. Paris sedang dalam ancaman pemboman, khususnya di metro. Polisi di mana-mana. Benar-benar menegangkan. Naik lagi, kami memutuskan naik taksi saja ke Eiffel.

Aku memutuskan untuk naik menara Eiffel. Acces par ascenseur. Bayar F55 per orang. Deg-deg-deg. Dan ini dia, aku di puncak Eiffel. Lucu :). Baru sekitar setahun sebelumnya aku mulai belajar Bahasa Perancis, dan membayangkan entah kapan aku bisa mencapai Puncak Eiffel. Dan sekarang aku sudah di sini. Entah kenapa aku membayangkan bahwa aku sebenarnya bisa berada di mana saja kalau aku mencitacitakan dan mewujudkan cita-cita itu dengan baik. Haha. Right. I could be anywhere I want. Oh, nice sight over there. Magnifique. Oh, ada foto Bung Karno juga di atas sana, haha.

Lalu kita ikut tur sur la riviere Seine. F45 per orang. Menyaksikan berbagai jembatan di atas Seine, dengan style yang berbeda, mengisahkan zaman-zaman yang dilalui kota Paris. Dan mengagumi cahaya Paris yang dipantulkan Seine. Notre Dame tetap tampak seram seperti istana sihir.

Pagi berikutnya, kami sudah harus bersiap terbang ke Madrid. Tapi kami luangkan waktu melihat Ambassade d’Indonésie dulu. Hey, ini Kedutaan Indonesia pertama yang aku kunjungi. Pakai baju resmi. Bukan karena ke embassy, tapi karena baju lain sudah masuk koper. Baju lengkap ini pas buat naik pesawat sorenya — dinginnn. Chauffeur  taxinya muslim keturunan Algerie, bernama Tahir Mohammad. Dan di sibuk bercerita tentang kehidupan umat muslim di Perancis. Tentu dalam bahasa Perancis. Di Kedutaan, kami menjumpai Pak R Hanafi. Berbincang sebentar, kami kembali lagi. Kali ini chauffeur-nya seorang kulit hitam yang penuh humor. Dia mencandai Bahasa Perancis-ku yang jauh dari sempurna. “Je veux tenir un photo d’Arc de Triomphe. C’est possible?” tanyaku dengan grammar entah dari mana. Dia tertawa dan berseru “Possible? Tu a l’argent! Tout est possible!” Begitulah, kami berfoto2 sebentar di L’Arc du Triomphe.

Lalu melejit ke Roissy Charles de Gaulle. Tapi entah kenapa kami masuk ke waiting list di penerbangan itu. Dan harus menggunakan pesawat lain 2 jam kemudian. Tapi kami memperoleh ganti rugi, masing-masing F500, plus boleh menunggu di ruang VIP. Sambil menunggu, sekaligus kami membeli tiket untuk perjalanan weekend berikutnya: Charles de Gaulle – Heathrow. F711. Dan akhirnya kami boleh boarding. Lucu. Ada 3 bahasa digunakan di Air France ini. Dan dalam kurang dari 1 jam, kami mendarat di Barajas, Madrid. Tidak ada pemeriksaan apa pun di airport, tapi kami melihat pengawal bersenjata lengkap di mana-mana. Aroma kayumanis mengambang di airport. Mulailah aku berkelana di negeri dengan bahasa yang tak kupahami.

Oh ya, ini sebenarnya kunjungan kedua ke Paris. Dari Jakarta, sebelum ke Lannion, aku sempat berkeliling juga di Paris, dan mengunjungi Eiffel. Kembali dari Madrid, kami ke Paris lagi. Karena waktu cukup panjang sebelum perjalanan ke London, aku memutuskan keluar airport, dan mengunjungi museum Louvre. Sempat juga bermain-main di piramida kaca yang kemudian terkenal sebagai bagian dari kisah Da Vinci Code, beberapa tahun kemudian. Juga sempat berfoto di depan Monalisa, biarpun itu ternyata dilarang (terlambat tahu –red). Kembali dari London, aku transit lagi di Charles de Gaulle. Namun di transit terakhir ini, aku tak lagi merasa sempat menyapa Paris.

3 thoughts on “Un Weekend à Paris

  1. gaya menulisnya dulu dan sekarang tetap sama. dalam bentuk blog apapun :) ingin ke paris lagi deh jadinya :)

  2. Percayalah. Artikel majalah dinding yang aku tulis zaman SMA akan punya gaya bahasa yang tak jauh berbeda.
    Tahu majalah dinding nggak? Ini mirip web sekolah, tapi tanpa web, tanpa Internet, tanpa komputer, tanpa listrik. Kesamaannya, ia diketik dengan gadget yang sudah QWERTY, dan isinya menyentil sana sini :D

  3. aku kan hidup di jaman majalah dinding juga. jadi tahu. juga si QWERTY itu. dulu belajar mengetik menghapalnya QWERTY dstnya. sekarang QWERTZ. mau lihat dong salah satu tulisan menyentil di majalah dinding dengan mesin tik QWERTY

Leave a Reply